Recent twitter entries...

Belajar Hidup pada Seorang Sopir dan Kuli Panggul

Wanita itu sungguh beruntung. Kesalahannya dalam melihat orang tidak berujung maut. Tak lebih karena orang yang dia hadapi adalah laki-laki dengan kerendahan hati yang luar biasa. Kisah itu berujung di sebuah pasar di Yogyakarta. Kranggan. Tak banyak yang mengetahui angka tahun berapa kejadian itu berlangsung. Tapi konon terjadi pada tahun-tahun setelah Indonesia merdeka.

Semua berawal ketika wanita tua itu menunggu kendaraan di tepi jalan. Tiba-tiba datang sebuah jeep dari arah utara. Seperti kebiasaannya dihentikanlah mobil itu. Ia memang biasa nunut mobil apa saja ke pasar Kranggan. Jeep Willys itu berhenti. Dan tanpa melihat seksama pada sang sopir, ia perintahkan sang sopir untuk mengangkat barang dagangannya. Sopir itu menurut saja perintah wanita itu. Ia hanya tersenyum.

Setiba di pasar Kranggan, supir itu menurunkan barang dagangan. Tapi ia menolak ketika dibayar. Wanita tua itu marah. Ia mengira si supir meminta uang lebih. Di tengah kemarahannya, si supir lalu pergi begitu saja. Belum selesai marah, seorang polisi menghampiri dan memberitahu siapa sosok supir yang menolak uang tadi.

“Beliau tadi Sultan!” kata polisi itu. Sang wanita mendadak berubah pucat. Lalu sayup-sayup mulutnya berucap tak percaya, “Sultan?” Selanjutnya, gelap. Ia pingsan.

Kisah di atas hanya salah satu kisah yang melegenda tentang Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Raja Yogyakarta yang termasyhur itu. Ia memang dikenal dekat dengan masyarakat. Itulah sebabnya, ia jauh dikenang melebihi batas usia fisiknya. Bahkan melalui kisah yang mempesona itu kita dapat belajar tentang kemuliaan hati.

Dalam kehidupan sehari-hari betapa banyak orang keliru menilai kita. Mereka salah dalam melihat diri kita, pikiran kita, keinginan-keinginan kita, atau juga tindakan kita. Kesalahan penilaian itu sering pula diikuti dengan kesalahan berikutnya, yaitu kesalahan dalam memosisikan kita. Sayangnya, hampir sebagian kita tidak siap dengan itu. Kebanyakan orang menjadi terbebani dengan penilaian. Di sinilah orang lalu bermain-main dengan citra. Seseorang akan marah, kesal, dan jengkel manakala ia menganggap bahwa orang lain telah merendahkan citranya. Padahal, yang terjadi hanyalah secuil ketidaktahuan. Persis kesalahan yang dilakukan wanita pedagang itu kepada Sang Sultan.

Dari Sang Sultan kita belajar untuk memaklumi. Kesalahan dalam menilai adalah hal biasa. Ia hanyalah efek dari ketidaktahuan. Tapi kita dapat belajar dari sisi lain: hidup kita tidak selayaknya terbebani dengan citra dan posisi. Kemuliaan seseorang sesungguhnya terletak dalam kemuliaan hatinya. Bersikap dan berpikiran sederhana tentang diri kita akan meringankan banyak hal. Saya masih ingat ketika seorang profesor marah-marah dengan panitia penyambutan mahasiswa baru karena beliau dijadikan pembicara kedua, dan terpaksa harus mendengarkan pembicara pertama—yang kebetulan belum profesor. Ada lagi yang tersinggung karena sebagai pembicara, kedatangannya tidak disambut, bahkan dianggap peserta biasa.

Dari sang Sultan kita kembali belajar bahwa orang-orang besar tidak membiarkan dirinya dinilai hanya karena citra dan posisi. Mereka tidak menjadi khawatir dengan penilaian selama ia tetap berpijak pada nurani. Maka sultan tidak terhina karena dianggap supir, bahkan ketika beliau disuruh mengangkat barang dagangan sekalipun. Kemuliaan seseorang dapat juga ditentukan dari seberapa besar mereka mampu memahami dan menerima secara utuh orang lain.

Dari sahabat Rasulullah kita menemukan kisah serupa. Ketika Salman al-Farisi menjadi gubernur Madain, ia pernah dianggap kuli panggul oleh seorang kaya terkemuka di kota itu. “Bawakan barang ini!” kata orang itu. Rupanya dia tidak mengenal Salman.

Barang-barang itu diangkat Salman di atas bahunya. Setiap bertemu penduduk, mereka menawarkan diri untuk membawakan barang itu. Tetapi Salman menolaknya, hingga ia sampai di rumah si kaya. Selang beberapa saat orang kaya itu baru mengetahui bahwa lelaki yang disuruhnya adalah gubernur. Ia meminta maaf dan berkata, “Saya berjanji tidak akan menghina orang sesudah kejadian ini untuk selamanya.”

Rasa-rasanya saya merindukan mereka hadir di masa ini. Mengajari kita untuk dapat belajar bersikap atas anggapan dan penilaian orang lain.

(Tulisan seorang dosen inspiratif UNY: Dwi Budiyanto)

Comments (0)